Minggu, 13 November 2022

Perjalanan Pendidikan Nasional

 

Pada zaman kolonial belanda di Indonesia pada tahun 1854 beberapa bupati menginiasi pendirian sekolah kabupaten yang hanya diperuntukan calon pegawai. Setelah itu pada tahun yang sama juga didirikan sekolah bumiputera. Sekolah tersebut hanya memiliki tiga kelas dan pelajarannya pun terbatas membaca, menulis, berhitung seperlunya.

Pendidikan kolonial hanya untuk kepentingan kolonial saja. Isinya tidak disesuaikan dengan jiwa raga bangsa. Ki Hadjar Dewantara menganggap bahwa pendidikan kolonial tidak dapat mengadakan peri kehidupan bersama, sehingga bangsa Indonesia selalu bergantung pada bangsa Belanda. Pendidikan kolonial itu tidak dapat menjadikan kita manusia merdeka. Keadaan ini tidak akan lenyap jika hanya dilawan dengan pergerakan politik saja. Tetapi juga harus dibarengi dengan gerakan pendidikan yang akan menyebarkan benih hidup merdeka di kalangan rakyat dengan jalan pengajaran dan pendidikan nasional.

Setelah Bumi Putera, pada tahun 1908 lahirlah Boedi Utomo kemudian 1912 RA Kartini memperjuangkan kaum perempuan untuk ikut andil dalam dunia pendidikan. RA Kartini beranggapan bahwa derajat laki-laki dan perempuan itu sama maka dari itu perempuan juga berhak untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah.

Pada tahun 1920 cita-cita baru lahir untuk perubahan radikal dalam pendidikan dan pengajaran. Kemudian pada tahun 1922 lahirlah taman siswa untuk secercah harapan kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara. Rencana Pembelajaran Taman Siswa menunjukan sifat kultur nasional. Tiap-tiap mata pelajaran di berikan sebagai bagian dari peradaban bangsa dan disesuaikan dengan perkembangan jaman. Pendidikan yang mendasarkan kebudayaan nasional dapat menghindarkan dari kebodohan. 

Pendidikan yang ada pada masa kolonial tidak mencerdaskan, hanya bertujuan untuk menciptakan sumberdaya manusia yang siap menjadi tenaga kerja bagi Belanda dan diberi upah yang minim. Namun, pendidikan yang diberikan oleh Belanda memberi dampak positif terhadap masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia mulai dapat belajar membaca dan menghitung. Selain itu dampak positif dari pendidikan yang diberikan Belanda adalah terbentuknya Lembaga pendidikan di Indonesia yang dibangun oleh tokoh-tokoh pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai pejuang kemanusiaan di Indonesia. Ia berupaya membangun dan menyelenggarakan pendidikan untuk manusia di Indonesia dengan konsep, landasan, semboyan dan metode yang menampilkan kekhasan kultural Indonesia. Saat  Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, pendidikan di sekolah bukan hanya menjadikan manusia yang mampu menguasai sesuatu, tetapi manusia susila yang cakap  menghasilkan warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggungjawab kepada kesejahteraan masyarakat dan tanah air. 

Kondisi pendidikan yang ada di Indonesia setelah merdeka mengarah pada perubahan proses pembelajaran dan landasan pendidikan. Pembelajaran dilaksanakan dengan menambahkan berbagai budaya bangsa Indonesia yang dapat diwariskan kegenerasi selanjutnya. Pada saat ini, pembelajaran tidak terfokus pada kebudayaan lagi. Akan tetapi, berfokus pada peserta didik yang berpikir kritis dan cerdas dalam memecahkan masalah, cakap berkomunikasi, kreativit dan inovatif, serta pandai berkolaborasi atau bekerjasama yang tercermin dalam profil pelajar pancasila. Pada zaman ini teknologi merupakan sarana utama dalam dunia pendidikan. Sebagai seorang guru, kita perlu meningkatkan pemahaman kemampuan adaptasi teknologi serta dapat memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan pembelajaran. Tidak ada istilah gaptek atau gagap teknologi bagi seorang guru di era globalisasi ini. Semua guru harus cakap mengembangkan dirinya untuk belajar menggunakan berbagai perangkat tekhnologi digital.