Pada zaman
kolonial belanda di Indonesia pada tahun 1854 beberapa bupati menginiasi
pendirian sekolah kabupaten yang hanya diperuntukan calon pegawai. Setelah itu
pada tahun yang sama juga didirikan sekolah bumiputera. Sekolah tersebut
hanya memiliki tiga kelas dan pelajarannya pun terbatas membaca, menulis,
berhitung seperlunya.
Pendidikan kolonial
hanya untuk kepentingan kolonial saja. Isinya tidak disesuaikan dengan jiwa
raga bangsa. Ki Hadjar Dewantara menganggap bahwa pendidikan kolonial tidak
dapat mengadakan peri kehidupan bersama, sehingga bangsa Indonesia selalu
bergantung pada bangsa Belanda. Pendidikan kolonial itu tidak dapat menjadikan
kita manusia merdeka. Keadaan ini tidak akan lenyap jika hanya dilawan dengan
pergerakan politik saja. Tetapi juga harus dibarengi dengan gerakan pendidikan
yang akan menyebarkan benih hidup merdeka di kalangan rakyat dengan jalan
pengajaran dan pendidikan nasional.
Setelah Bumi
Putera, pada tahun 1908 lahirlah Boedi Utomo kemudian 1912 RA Kartini
memperjuangkan kaum perempuan untuk ikut andil dalam dunia pendidikan. RA Kartini
beranggapan bahwa derajat laki-laki dan perempuan itu sama maka dari itu
perempuan juga berhak untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Pada tahun 1920
cita-cita baru lahir untuk perubahan radikal dalam pendidikan dan pengajaran.
Kemudian pada tahun 1922 lahirlah taman siswa untuk secercah harapan kemerdekaan
dan kebebasan kebudayaan bangsa yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara. Rencana
Pembelajaran Taman Siswa menunjukan sifat kultur nasional. Tiap-tiap mata
pelajaran di berikan sebagai bagian dari peradaban bangsa dan disesuaikan
dengan perkembangan jaman. Pendidikan yang mendasarkan kebudayaan nasional
dapat menghindarkan dari kebodohan.
Pendidikan
yang ada pada masa kolonial tidak mencerdaskan, hanya bertujuan untuk
menciptakan sumberdaya manusia yang siap menjadi tenaga kerja bagi Belanda dan
diberi upah yang minim. Namun, pendidikan yang diberikan oleh Belanda memberi
dampak positif terhadap masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia mulai dapat
belajar membaca dan menghitung. Selain itu dampak positif dari pendidikan yang
diberikan Belanda adalah terbentuknya Lembaga pendidikan di Indonesia yang
dibangun oleh tokoh-tokoh pendidikan.
Ki Hadjar
Dewantara disebut sebagai pejuang kemanusiaan di Indonesia. Ia berupaya
membangun dan menyelenggarakan pendidikan untuk manusia di Indonesia dengan
konsep, landasan, semboyan dan metode yang menampilkan kekhasan kultural
Indonesia. Saat Ki Hadjar Dewantara
menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, pendidikan di
sekolah bukan hanya menjadikan manusia yang mampu menguasai sesuatu, tetapi
manusia susila yang cakap menghasilkan
warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggungjawab kepada
kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Kondisi
pendidikan yang ada di Indonesia setelah merdeka mengarah pada perubahan proses
pembelajaran dan landasan pendidikan. Pembelajaran dilaksanakan dengan menambahkan
berbagai budaya bangsa Indonesia yang dapat diwariskan kegenerasi selanjutnya. Pada
saat ini, pembelajaran tidak terfokus pada kebudayaan lagi. Akan tetapi,
berfokus pada peserta didik yang berpikir kritis dan cerdas dalam memecahkan
masalah, cakap berkomunikasi, kreativit dan inovatif, serta pandai
berkolaborasi atau bekerjasama yang tercermin dalam profil pelajar pancasila.
Pada zaman ini teknologi merupakan sarana utama dalam dunia pendidikan. Sebagai
seorang guru, kita perlu meningkatkan pemahaman kemampuan adaptasi teknologi
serta dapat memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan pembelajaran. Tidak ada
istilah gaptek atau gagap teknologi bagi seorang guru di era globalisasi ini. Semua
guru harus cakap mengembangkan dirinya untuk belajar menggunakan berbagai
perangkat tekhnologi digital.